Strategi Terbaik dalam Menetapkan Harga Ekspor

  • Ronnie Aban
  • 04 April 2025
5 Menit 9 Detik
Strategi Terbaik dalam Menetapkan Harga Ekspor

Strategi Penetapan Harga Ekspor

Strategi penetapan harga ekspor sering kali menjadi aspek yang kurang diperhatikan dalam perdagangan internasional. Umumnya, eksportir mempertimbangkan beberapa hal ketika menentukan harga, yaitu: (1) "Berapa harga yang ditetapkan oleh pesaing?", (2) "Berapa total biaya yang saya keluarkan?", dan (3) "Berapa margin keuntungan yang ingin saya peroleh?" Pendekatan ini dikenal sebagai model penetapan harga berbasis biaya (cost-plus pricing), yang merupakan strategi paling tidak efisien. Model ini bersifat reaktif dan tidak mengoptimalkan keuntungan eksportir.

Harga bukan satu-satunya faktor yang dipertimbangkan oleh konsumen saat membeli produk atau jasa. Yang lebih penting adalah nilai yang mereka peroleh dari produk atau jasa tersebut. Oleh karena itu, strategi penetapan harga ekspor tidak hanya berkaitan dengan harga itu sendiri, tetapi juga mencakup seluruh aspek operasional bisnis ekspor. Artikel ini akan membahas strategi alternatif yang lebih efektif dan layak untuk diterapkan oleh eksportir.

Kelemahan Model Cost-Plus Pricing

Model cost-plus pricing memang lebih mudah diterapkan dibandingkan strategi lainnya. Namun, metode ini sering kali menghasilkan kinerja keuangan yang kurang optimal.

Secara teori, model ini tampak sederhana, tetapi dalam praktiknya, menentukan biaya produksi per unit bisa menjadi hal yang rumit. Salah satu kelemahan terbesar dari model ini adalah tidak memperhitungkan skala ekonomi (economies of scale), yang memiliki dampak signifikan terhadap biaya produksi.

Pengaruh Skala Ekonomi

Skala ekonomi mengacu pada konsep bahwa semakin besar skala operasi, semakin rendah biaya produksi per unit.

Dalam setiap bisnis, terdapat biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap mencakup investasi awal yang tidak berubah meskipun volume produksi meningkat. Sebagai contoh, sebuah perusahaan ekspor yang mengoperasikan lini produksi dengan kapasitas 100 metrik ton (MT) bubuk kakao per bulan akan menghadapi inefisiensi jika hanya memproduksi 50 MT. Jika biaya operasional lini produksi tersebut adalah USD 2,00 per ton dalam kapasitas penuh, maka biaya tetap per ton akan meningkat menjadi USD 4,00 ketika kapasitas hanya digunakan setengahnya.

Secara teori, terdapat kurva efisiensi yang menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah produksi (Q), biaya rata-rata jangka panjang (LRAC) akan menurun. Inilah alasan utama mengapa strategi cost-plus pricing tidak cukup efektif dan harus dikombinasikan dengan strategi penetapan harga lainnya.

Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah: “Bagaimana perubahan harga memengaruhi pendapatan, dengan mempertimbangkan total biaya peluang dari jumlah yang terjual?”

Keunggulan Model Cost-Plus Pricing

Meskipun memiliki kelemahan, model cost-plus pricing tetap memiliki manfaat tertentu. Strategi ini dapat berfungsi sebagai filter awal untuk menentukan kelayakan suatu produk dalam pasar ekspor.

Dengan mempertimbangkan harga pesaing, eksportir dapat memperkirakan profitabilitas suatu produk di pasar internasional. Strategi ini lebih relevan untuk produk-produk yang bersifat homogen dan tidak memiliki diferensiasi yang signifikan, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO), minyak kedelai, biji-bijian, serta logam ferrous.

Selain itu, model ini juga memungkinkan eksportir untuk menilai kelayakan biaya ekspor, termasuk biaya angkutan laut dan transportasi darat. Misalnya, untuk pengiriman dari Pelabuhan Busan ke Pelabuhan Newark dengan menggunakan kontainer 20’GP, biaya angkutan laut sekitar USD 3.500, belum termasuk biaya terminal dan biaya lainnya. Dalam hal ini, eksportir dapat menentukan apakah peningkatan biaya angkutan laut masih dapat diterima berdasarkan model cost-plus pricing.

Strategi Penetapan Harga Ekspor yang Lebih Baik

Pada dasarnya, strategi penetapan harga ekspor tidak berbeda dengan strategi penetapan harga lainnya. Faktor utama yang harus diperhitungkan adalah nilai yang dirasakan oleh importir sebagai imbalan atas harga yang dibayarkan.

Oleh karena itu, fokus utama dalam strategi penetapan harga ekspor bukanlah pada harga per unit semata, melainkan pada profitabilitas secara keseluruhan. Hal ini menjadikan model cost-plus pricing kurang optimal.

Strategi Penetapan Harga Berbasis Nilai yang Dirasakan

Tugas eksportir adalah menentukan nilai ekonomi dari produk yang dirasakan oleh pembeli. Perlu diingat bahwa setiap segmen pasar memiliki persepsi nilai yang berbeda terhadap fitur suatu produk.

Thomas T. Nagle dalam bukunya The Strategy and Tactics of Pricing mengkategorikan nilai yang dirasakan menjadi tiga jenis utama:

  1. Nilai Moneter – Indikasi terhadap berapa banyak uang yang dapat dihemat oleh pembeli dengan menggunakan produk tersebut.
  2. Nilai Psikologis – Faktor non-kuantitatif yang mencerminkan kenyamanan dan kemudahan dalam berbisnis dengan eksportir.
  3. Nilai Referensi – Perbandingan harga dengan produk alternatif terbaik yang tersedia bagi importir.

Total nilai ekonomi dari suatu produk dapat dihitung dengan rumus berikut:

Nilai Moneter + Nilai Psikologis + Nilai Referensi = Total Nilai Ekonomi

Produk dengan nilai ekonomi yang tinggi akan tetap diminati oleh pembeli, meskipun harga per unit lebih tinggi dibandingkan dengan pesaing.

Cara Menentukan Nilai Ekonomi Produk

1. Menentukan Harga Referensi

Teknologi telah mempermudah proses ini. Langkah pertama dalam menetapkan harga ekspor adalah mengidentifikasi harga referensi, yaitu harga produk serupa yang ditawarkan di pasar.

Mengumpulkan informasi harga referensi lebih mudah untuk produk yang bersifat komoditas, seperti minyak mentah, gula, dan pupuk. Namun, untuk produk dengan diferensiasi tinggi, seperti perangkat elektronik dan mesin industri, proses ini menjadi lebih kompleks.

2. Mengidentifikasi Nilai Psikologis

Memahami nilai psikologis suatu produk memerlukan wawasan yang mendalam mengenai segmen pasar yang dituju. Ini mencakup analisis demografi konsumen, seperti usia, pendapatan, lokasi bisnis, dan preferensi produk.

Misalnya, jika eksportir menjual headphone kelas menengah di Thailand, hasil survei dapat menunjukkan bahwa konsumen berusia 18–24 tahun lebih menghargai fitur bass yang kuat dan bersedia membayar tambahan USD 3,00 untuk fitur tersebut. Dengan wawasan ini, eksportir dapat menetapkan harga yang lebih tinggi dari pesaing, karena nilai psikologis yang lebih tinggi melekat pada produknya.

3. Mengidentifikasi Nilai Moneter

Nilai moneter berkaitan dengan manfaat finansial yang diperoleh pembeli dari produk yang diekspor, baik dalam bentuk penghematan biaya maupun peningkatan profitabilitas.

Sebagai contoh, sebuah pabrik yang mengganti mesin CNC lama dengan mesin baru yang lebih efisien akan mengalami penghematan biaya tenaga kerja serta peningkatan output produksi. Pengurangan biaya dan peningkatan kapasitas produksi ini merupakan nilai moneter yang dapat dikapitalisasi oleh eksportir.

4. Menyusun Harga Berdasarkan Total Nilai Ekonomi

Setelah mengidentifikasi harga referensi, nilai psikologis, dan nilai moneter, eksportir dapat menyusun harga produk berdasarkan total nilai ekonomi yang diberikan kepada pembeli. Pendekatan ini lebih efektif dibandingkan model cost-plus pricing dan memberikan daya saing yang lebih baik di pasar internasional.

Faktor Tambahan dalam Strategi Penetapan Harga Ekspor

Beberapa faktor tambahan yang perlu diperhatikan dalam menetapkan harga ekspor meliputi:

  • Biaya logistik dan bea masuk, yang bervariasi berdasarkan lokasi.
  • Ketentuan INCOTERMS dan opsi pembiayaan perdagangan, yang berpengaruh pada struktur harga.
  • Strategi pemasaran, yang harus selaras dengan strategi penetapan harga untuk memastikan nilai produk tersampaikan secara efektif kepada pembeli.

Kesuksesan perusahaan seperti Amazon menunjukkan bahwa strategi pemasaran yang baik dapat memperkuat daya saing harga produk. Oleh karena itu, eksportir harus memastikan bahwa strategi penetapan harga mereka didukung oleh komunikasi pemasaran yang tepat agar produk mereka lebih menarik di pasar ekspor.